OPERASI Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap wali kota (nonaktif) Rahmat Effendi, sejatinya berdampak pula pada
Partai Golkar.
Sosok
Rahmat Effendi tidak bisa begitu saja lepas atau dilepaskan dari Partai Golkar.
Dalam posisinya di partai yang lahir dari rahim Orde Baru ini, Rahmat Effendi
merupakan Ketua Dewan Pembina. Selain itu, sebelum pada posisi tersebut, dia
merupakan Ketua DPD Partai Golkar Kota Bekasi.
Bahkan, Rahmat Effendi berhasil meredam turbulensi internal yang cukup tinggi
sewaktu peralihan kepemimpinan DPD Partai Golkar di penghujung 2021.
Drama
‘penguasaan’ Pengurus Kecamatan (PK) Partai Golkar se-Kota Bekasi dan
duduk-menduduki kantor Partai Golkar di Jalan Ahmad Yani berakhir dengan adem
ayem.
Peralihan kekuasaan di tubuh Partai Golkar berjalan lancar. Tampuk kepemimpinan
pun berpindah dari Rahmat Effendi kepada putrinya, Ade Puspitasari. Kini,
Partai Golkar Kota Bekasi di bawah komando putri sulung Rahmat Effendi.
Sinyal Politik
Tiga hari (8/1/2022) setelah Rahmat Effendi di-OTT Komisi Anti Rasuah, Ade
Puspitasari melantik para Ketua PK Partai Golkar se-Kota Bekasi.
Ade memanfaatkan dengan baik momentum politik pertamanya pasca dia dilantik
sebagai Ketua DPD Partai Golkar Kota Bekasi. Dia membela sang ayah, menyinggung
konspirasi partai-partai dalam penangkapan ayahnya dan juga menebar kabar
tentang koalisi kuning-orange pada Pemilu 2024.
Ada
banyak makna dari orasi politik APS pada pelantikan pengurus PK Partai Golkar
se-Kota Bekasi tersebut.
Pertama, Ade menunjukkan kematangannya secara psikopolitik. Dia melakoni peran
di luar kemanusiawiaannya sebagai anak, dengan meredam rasa sakit yang timbul
akibat dari penangkapan sekaligus status tersangka sang ayah.
Dia
tunjukkan ke publik, sebagai pimpinan Partai Golkar Kota Bekasi, dia tegar.
Bahkan, masih berteriak lantang di atas panggung politik dengan
statemen-statemen yang berujung polemik.
Kedua,
pembelaannya kepada sang ayah dengan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter
merupakan dorongan yang lahir dari psikologisnya sebagai anak. Juga, bagian
dari upaya mem-framing atau
meng-counter pemberitaan,
sehingga stigma negatif terhadap individu sang ayah dan partai dapat
dieliminir.
Terlebih lagi, Pemilu 2024 sudah di depan mata. Kasus OTT ini, jika tidak
‘dikelola’ dengan baik, akan berdampak pada perolehan suara; terutama suara di
tingkat lokal Kota Bekasi.
Ketiga,
tudingan kepada partai-partai yang bermain dalam peristiwa Rabu (5/1/2022) itu
adalah lanjutan dari apa yang dia sebut sebagai pembunuhan karakter. Karena,
ketika disebut pembunuhan karakter, maka harus ada subjek yang melakoninya.
Meskipun,
pada poin ini, KPK juga merasa dituduh sebagai lembaga yang seolah-olah bekerja
tidak profesional dan main ciduk tanpa bukti yang kuat.
Keempat,
pengabaran koalisi kuning-orange merupakan sinyal bahwa keduanya telah menjalin
komunikasi politik.
Kuning merupakan Partai Golkar dan orange adalah Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Dan komunikasi Partai Golkar-PKS itu dibangun dalam kepentingan
pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Bekasi pada 2024.
Sahdan,
kemunculan Ade telah memberi pesan jelas kepada anggota, fungsionaris dan
konstituen Partai Golkar. Bahwa, Partai Golkar solid, siap kembali memimpin
Kota Bekasi dan menegaskan bahwa Rahmat Effendi tidak melakukan tindak korupsi.
Pesan
itu dikabarkan sebagai upaya me-reframing pemberitaan
negatif dan bentuk perlawanan terhadap kelompok warna yang dia sebut melakukan
pembuhuhan karakter.
Ambisi Berkuasa
Benar kata Winston Churcill, “dalam politik itu bisa mati berkali-kali.”
Banyak
contoh pembenar dari pernyataan politikus Inggris ini. Dari mulai tokoh dunia
hingga toko lokal.
Bahkan,
statemen Churcill tersebut sekarang sudah menjadi “mantra” bagi para politikus.
Mereka cenderung ambisius mengejar karir politiknya.
Tak
terpilih pada pemilu ini, mencalonkan kembali pada pemilu berikutnya. Bahkan,
jika pun tersandung kasus korupsi atau pun moral, mereka cukup “bertapa” untuk
kurun waktu tertentu, kemudian muncul lagi di panggung politik.
Apa
yang disebut “konspirasi warna-warna lain” dan “koalisi kuning-orange” dalam
orasi politik Ketua DPD Partai Golkar Kota Bekasi merupakan verbalisasi dari
“mati berkali-kali” tersebut.
Karena
sejatinya, mati berkali-kali itu dapat dipahami tidak pernah mati. Konstruksi
pikir dan politik tersebut yang dibangun Golkar, sehingga meski baru sehari
setelah OTT, sudah berpikir kembali berkuasa memimpin Kota Bekasi.
Untuk
mewujudkan ambisi itu, secara terang benderang mengabarkan ke publik bahwa
telah terjadi komunikasi yang mengarah koalisi antara Golkar dengan PKS.
Apakah
koalisi itu akan terwujud atau tidak pada Pilkada Kota Bekasi 2024, kita lihat
saja nanti.
Yang
pasti, Pilkada Kota Bekasi 2012 silam mencatat pasangan Sumiyati Mochtar
Muhammad-Anim Imamuddin yang diusung oleh PDI Perjuangan hanya memperoleh 19
persen suara.
Sumiyati
merupakan istri dari mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad. Pencalonan
Sumiyati berada pada momentum di mana Mochtar Muhammad terjerat kasus korupsi
yang juga ditangani KPK.
Padahal,
sewaktu berkuasa pun, Mochtar Muhammad banyak dielu-elukan masyarakat Kota
Bekasi. Namun, setelah menjadi tersangka, dan kekuasaan diupayakan direbut
kembali dengan mencalonkan istrinya, PDIP tidak kuasa. Perolehan suaranya
kandas dan hanya 19 persen.
Bagaimana
dengan biduk Partai Golkar, apakah akan mempengaruhi perolehan suara pada
Pilkada Kota Bekasi?
Jawabnya,
tergantung pada seberapa besar Partai Golkar bisa “mengelola” tantangannya itu
sendiri.
Yang
pasti, Pilkada Kota Bekasi 2012 telah mencatatkan ada korelasi antara kasus
korupsi dengan perolehan suara. Wallahu ‘alam. (*)
0 Comments for "Biduk Beringin Kota Bekasi"